Blog

Tukang Tambal Ban yang Doyan Baca Buku Sukses Lulus Sarjana

Di balik jeruji besi Lapas Kelas I Surabaya, terdapat sebuah kisah yang jarang diketahui orang. Kisah seorang pemuda bernama Hafidz Ramadhan, 24 tahun, yang dahulu dikenal sebagai anak berandalan, pemakai narkoba, dan pelaku perampokan minimarket.

Tapi dari tempat paling gelap dalam hidupnya, Hafidz justru menemukan cahaya—dan kini ia menyinari ribuan jiwa di luar penjara. mg4d

Mengharukan: Anak Baik yang Salah Jalan

Hafidz berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya pensiunan satpam, ibunya penjual gorengan. Sejak kecil ia dikenal pintar dan suka menulis. Saat SMP, puisinya pernah dimuat di koran lokal. Tapi saat SMA, segalanya berubah.

Berteman dengan lingkungan yang salah, Hafidz mulai kenal obat-obatan. Dari rokok ke tramadol, dari tramadol ke sabu. Untuk membiayai kebiasaannya, ia mulai mencuri. Hingga akhirnya, saat berusia 20 tahun, ia tertangkap saat merampok minimarket bersama dua temannya.

Ia dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun. Saat pertama kali masuk Lapas, ia ingin mati. “Hidupku selesai,” katanya dalam surat pertamanya kepada ibunya.

Tapi sang ibu menjawab dengan satu kalimat:
“Kalau kamu masih hidup, Tuhan masih percaya kamu bisa berubah.”

Kalimat itu menancap dalam-dalam di hati Hafidz.

Menggugah: Sebait Puisi, Selembar Harapan

Di dalam Lapas, Hafidz banyak merenung. Ia mulai sering ke perpustakaan dan menemukan kembali cinta lamanya: menulis. Ia mulai membuat puisi—tentang penyesalan, ibu, masa kecil, dan mimpinya yang terkubur.

Salah satu puisinya yang berjudul “Surat untuk Tuhan” dibacakan dalam lomba sastra narapidana dan viral di media sosial. Inilah penggalannya:

Aku tak tahu apakah Kau masih membaca suratku
Tapi malam ini, aku menulis dengan tinta air mata
Jika Kau masih mau menengok ke sini
Tolong bisikkan pada Ibu: anakmu belum mati sepenuhnya

Puisi itu menyentuh hati ribuan orang. Banyak netizen menuliskan komentar dukungan. Bahkan, seorang dosen sastra dari Yogyakarta menghubungi lapas untuk menawarkan pelatihan menulis bagi para napi, dengan Hafidz sebagai mentor utama.

Menghebohkan: Dari Narapidana Jadi Penulis Buku

Dalam waktu dua tahun, Hafidz berhasil menyusun kumpulan puisi dan cerpen berjudul “Langit Tak Bertembok”. Buku itu diterbitkan oleh penerbit independen dan terjual 5.000 eksemplar dalam 3 bulan.

Ia bahkan diundang (secara virtual) dalam acara literasi nasional, duduk bersama sastrawan dan akademisi, mengenakan seragam napi, dengan latar jeruji besi.

“Dulu saya membobol brankas. Sekarang saya membuka hati,” katanya sambil tersenyum malu.

Buku keduanya, “Salah Jalan Pulang”, memuat kisah nyata narapidana yang ingin berubah. Hafidz menulis bukan untuk membenarkan masa lalunya, tapi untuk menunjukkan bahwa manusia bisa rusak—tapi juga bisa diperbaiki.

Menginspirasi: Jadi Mentor di Balik Penjara

Hafidz kini menjadi fasilitator kelas menulis mingguan di dalam lapas. Ia membimbing rekan sesama napi menyalurkan rasa dan trauma lewat tulisan. Mereka membuat zine, cerpen, dan puisi yang ditempel di mading lapas.

Beberapa napi lain bahkan mulai korespondensi dengan pelajar SMA dan mahasiswa. Surat-surat mereka menyentuh dan membuka dialog tentang kemanusiaan, keadilan restoratif, dan harapan.

“Saya nggak mau hidup saya cuma berhenti di kesalahan. Saya ingin kesalahan itu jadi jalan pulang,” ujar Hafidz dalam salah satu sesi daring dengan siswa SMK di Malang.

Lapas Surabaya bahkan mencatat penurunan kasus pelanggaran disiplin sejak Hafidz aktif membina komunitas literasi. Para napi jadi lebih fokus, lebih damai, dan punya tujuan.

Penutup: Jeruji Bisa Menahan Tubuh, Tapi Bukan Jiwa

Kisah Hafidz adalah bukti bahwa bahkan dalam tempat tergelap, manusia masih bisa bersinar. Ia tidak meminta dimaafkan. Ia hanya ingin menggunakan sisa waktunya untuk menebus, bukan dengan kata-kata kosong, tapi dengan tindakan nyata.

Saat ini, Hafidz tengah mempersiapkan buku ketiganya, “Bebas Tanpa Kabur”, yang ditulis bersama narapidana lain. Ia juga bercita-cita setelah bebas nanti akan mendirikan rumah baca untuk anak-anak jalanan—agar tak ada lagi yang salah jalan seperti dirinya dulu.

Dari jeruji besi, Hafidz mengirim pesan kepada kita semua:

“Jika kamu pernah jatuh, bukan dunia yang harus berubah. Tapi kamu yang harus memilih—mau bangkit atau mengubur dirimu sendiri.”

Dan Hafidz memilih bangkit.

Leave a Reply