Blog

Ketika Anak Kecil Mengajari Kita Arti Tulus Sesungguhnya

Di sudut terminal kecil di kota Bogor, setiap hari ada sosok pria paruh baya berseragam jaket lusuh, helm tua tergantung di setang motor tuanya. Namanya Yadi Supriatna, tukang ojek pangkalan yang dikenal ramah dan suka bercerita. Tak banyak yang tahu, di balik wajah legam karena matahari itu, mg4d tersimpan impian besar yang akhirnya mengubah hidupnya dan desanya—menyulap sampah jadi sumber energi terbarukan.

Masa Sulit yang Menempa Mental Baja

Yadi lahir di desa kecil bernama Cikaret, anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya seorang petani, ibunya penjual sayur keliling. Sejak kecil, Yadi terbiasa bekerja sambil sekolah: mengambil air dari sungai, mencangkul ladang, dan membantu ibunya mengangkat sayuran ke pasar.

Lulus SMP, ia tak bisa melanjutkan sekolah karena biaya. Ia merantau ke kota Bogor dan bekerja serabutan—mulai dari kuli bangunan, penjual es, hingga akhirnya menjadi tukang ojek. Hidupnya sederhana. Penghasilannya hanya cukup untuk makan dan menyekolahkan dua anaknya.

Namun satu hal yang tak pernah hilang dari Yadi adalah rasa ingin tahunya. Ia senang membaca, meski hanya koran bekas atau brosur yang ia temukan di jalan. Ia juga menyukai sains, meski tak pernah duduk di bangku SMA.

Ide Liar dari Timbunan Sampah

Setiap hari, saat mengantar penumpang ke tempat pembuangan sampah, Yadi selalu merasa terganggu. Tumpukan sampah semakin menggunung, bau menyengat, dan masyarakat tidak peduli. Suatu hari, ia melihat seorang pemulung tua terbakar karena puntung rokok meledakkan kaleng berisi bahan kimia.

Peristiwa itu membuat Yadi tertegun. “Kalau saja sampah ini bisa dimanfaatkan…,” pikirnya.

Ia mulai mencari tahu. Lewat ponsel jadulnya, ia membaca artikel-artikel tentang pengolahan sampah. Ia menonton video tentang biogas, komposter, hingga pembangkit listrik tenaga limbah.

Awalnya, ia hanya mencatat semua ide-ide itu di buku tulis anaknya. Ia menggambar skema, menulis ulang artikel, bahkan mencoba eksperimen kecil-kecilan di halaman belakang rumah.

Uji Coba Berani yang Berujung Ledakan

Suatu malam, Yadi mencoba membuat reaktor biogas dari drum bekas, kotoran sapi, dan limbah dapur. Ia menyambung pipa paralon, menutup drum dengan plastik rapat, dan menyalakan api kecil. Hasilnya? Drum meledak dan membakar atap dapurnya.

Istrinya marah besar. “Sudah capek narik ojek, malah mainan bom-boman!” bentaknya.

Namun Yadi tak patah semangat. Ia sadar, kesalahan adalah bagian dari belajar. Kali ini, ia memutuskan mencari bantuan.

Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Di suatu forum lingkungan yang ia datangi secara diam-diam, Yadi bertemu seorang mahasiswa teknik lingkungan dari IPB bernama Lala. Gadis itu kagum pada semangat Yadi dan bersedia membantunya memperbaiki rancangan alatnya.

Bersama-sama, mereka membuat biodigester sederhana dari jerigen, sisa dapur, dan bahan murah lainnya. Tak disangka, alat itu berhasil menghasilkan gas metana yang bisa digunakan untuk menyalakan kompor kecil.

Yadi menangis saat pertama kali berhasil menyalakan api dari limbah. “Ini bukan cuma api, ini harapan,” ucapnya lirih.

Dari Tukang Ojek ke Pahlawan Lingkungan

Berbekal alat sederhana itu, Yadi mulai mengedukasi tetangga-tetangganya. Ia mengajak mereka memilah sampah, menabung limbah organik, dan ikut uji coba alatnya. Awalnya banyak yang mengejek. Tapi setelah mereka bisa masak air pakai gas dari sampah sendiri, mereka mulai percaya.

Yadi membentuk komunitas “Kampung Energi Hijau”, sebuah gerakan berbasis warga yang mengubah sampah rumah tangga menjadi energi. Ia menyulap halaman kosong jadi pusat daur ulang, tempat edukasi, dan bengkel alat sederhana.

Media lokal mulai meliputnya. Ia diundang ke seminar, diliput televisi, bahkan mendapat penghargaan dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor sebagai “Inovator Warga Paling Inspiratif”.

Menghebohkan Dunia Pendidikan

Cerita Yadi menyebar cepat. Sekolah-sekolah mulai mengundang Yadi sebagai pembicara. Bayangkan: seorang tukang ojek lulusan SMP berdiri di depan ratusan siswa SMA, menjelaskan cara kerja biogas dengan percaya diri.

Mahasiswa teknik datang ke kampungnya untuk belajar langsung. Guru besar dari luar kota menyatakan kagum dengan inovasinya. “Pak Yadi adalah bukti bahwa pendidikan tak selalu harus formal. Intelektualitas bisa lahir dari rasa peduli dan kemauan belajar,” ujar salah satu profesor.

Perjuangan yang Tak Mudah

Tentu perjuangan Yadi tak selalu mudah. Ia pernah ditertawakan saat mengajukan proposal bantuan alat ke pemerintah desa. Pernah juga ditolak masuk pameran karena dianggap “bukan akademisi.” Namun semua itu tak membuatnya mundur.

Ia menjual motor tuanya untuk membeli bahan-bahan percobaan. Ia rela menarik ojek hingga larut malam agar bisa mendanai proyek komunitasnya. Istrinya yang dulu marah kini menjadi sekretaris komunitas dan guru pemilahan sampah untuk ibu-ibu rumah tangga.

Dampak Nyata di Kampung Sendiri

Tiga tahun setelah memulai, kini lebih dari 70% rumah di kampung Cikaret telah menggunakan biogas dari sampah dapur. Mereka tidak lagi membakar sampah atau membuang sembarangan. Selain itu, pengeluaran untuk LPG turun drastis.

Anak-anak belajar memanfaatkan botol plastik jadi mainan edukatif. Ibu-ibu membuat kompos untuk kebun sayur. Kampung yang dulu kotor dan bau kini jadi kampung percontohan bersih, hijau, dan mandiri energi.

Penutup: Kisah yang Terus Menyala

Kisah Yadi bukan sekadar cerita tentang seorang tukang ojek yang bereksperimen. Ia adalah potret nyata bahwa inovasi tidak mengenal gelar, usia, atau status sosial. Ia membuktikan bahwa dengan semangat belajar, kepedulian, dan keberanian mencoba, siapa pun bisa menjadi agen perubahan.

Kini, Yadi sedang mengembangkan alat sederhana untuk mengubah plastik non-organik jadi bahan bakar. Ia bermimpi bisa membawa teknologinya ke pelosok Indonesia.

Ketika ditanya mengapa ia terus berjuang meski banyak rintangan, ia menjawab sambil tersenyum, “Karena kalau kita diam, bumi akan hancur. Tapi kalau kita bergerak, meski kecil, bumi akan berterima kasih.”

Dan itulah Yadi Supriatna: bukan hanya tukang ojek, tapi penjaga harapan hijau bagi masa depan Indonesia.

Leave a Reply